BOGOR - Kembalikan Bogor sebagai "Dayeuh para Ulama yang berbudaya, Begitu yang saya baca dan kutip dari pendapat seorang budayawan Bogor di salah satu media sosial.
Bagus opini ini, hal ini, membuat saya tergelitik, dan teringat perjuangan kepahlawanan Kiyai dan Ulama besar seperti ajengan Alm.KH Soleh Iskandar (yang kini tengah kita perjuangkan sebagai Pahlawan Nasional), Alm.KH Abdullah bin Nuh-Kota Paris, alm.KH Falak Pagentongan, alm KH Istiqori Ciampea, Alm KH Dimyati-Bt Kemang, dan banyak lagi Kiyai Host yg lain.
Baca juga:
FMN : Samarinda Siapkan Diri Songsong IKN
|
Memang di era globalisasi, era digital pada generasi millenial saat ini pertarungan ideologi dan benturan budaya nampaknya tidak terelakan. Pelurusan sejarah perjalanan dan dinamika kebangsaan harus kita lakukan terus menerus. Kita tidak boleh lengah dalam menghadapi persoalan budaya dan peradaban bangsa ini berbasis pada Pancasila dan UUD 1945, agar kita tidak tersesat dan menyesatkan.
Saya mengusulkan bersegeralah dirumuskan konsepnya, agenda aksi (action plan) seperti apa yang dimaksud? Agar publik juga tahu apa yang seharusnya dilakukan.
Jika karya seni-budayawan Muslim itu tak bisa melewati atau melampau "dominasi" helaran Cap Gou Mek /CGM (Imlek, budaya dan ibadah kaum etnis Tionghoa) yang telah masuk agenda wisata nasional (yang disupport Umaroh), maka paling tidak kita mampu mengimbanginya, sehingga kaum muslim Bogor, memiliki pilihan (option) lain dalam event festival seni-budaya yang diselenggarakan setiap tahun itu di Kota "herritage" Bogor.
Ingat slogan event Festival CGM sudah diklaim menjadi budaya Nusantara.
Saya betul-betul tak mengerti budaya Nusantara yang mana? Jika ditilik atau dianalisis dalam perspektif sejarah nasional Indonesia, rasanya kurang tepat, alias sesat dan menyesatkan keyakinan umat dan bangsa Indonesia asli (pribumi). Budaya Nusantara itu basisnya budaya etnis Melayu Islam, yang berkembang di berbagai kesultanan Raja-Raja Islam se Nusantara, (baca bukunya Bernard H.M.Vlekke, cetakan ke 8, Februari 2020, berjudul "Nusantara: Sejarah Indonesia", Gramedia Press).
Saya pernah membaca iklan di media massa bahwa CGM merupakan simbol kerukunan, toleransi dan keberagaman (pluralisme), saya semakin bingung lagi, kok maknanya semakin melenceng. Dengan adanya slogan-slogan seperti itu, seolah-olah budaya Islam tidak bisa mengakomodasi 3 nilai budaya tersebut yakni kerukunan, toleransi dan keberagaman (pluralisme).
Menurut pendapat saya bahwa persoalan ibadah (sembahyang) kepada Tuhan seperti imlek tersebut tidak ada relevansinya dengan kerukunan, toleransi dan pluralisme. Toleransi dalam kitab suci Al Quran, dalam soal menyembah Tuhan, prinsip bersikapnya sangat jelas "lakum dinukum waliadiin", jalan masing-masing dan saling menghormati, Kata Ustadz Prof.KH Didin Hafiduddhin (Wantim MUI Pusat, Direktur Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor) sudah viral di medsos, bahwa umat Islam tidak dibolehkan ikut-ikutan ritual imlek-tahun baru Cina, Cap Goe Mek. Itu melanggar akidah dan syariah Islam.
Tragisnya lagi, saya membaca HU Kompas, Jumat 20 Januari 2023, pada halaman depan "pembauran" Kegembiraan Bersama dalam Grebeg Sudiro di Kota Surakarta", ini event karnaval, perayaan tahun baru Cina (Imlek) yang diklaim sebagai simbol berbaurnya masyarakat Tionghoa-Jawa. Pertanyaan berikutnya apakah event-festival CGM (imlek, ibadsnya saudara kita beragama lain) tersebut sebagai budaya Nusantara pembauran masyarakat Tionghoa dengan etnis Sunda..?
Ini bahan perenungan kita bersama para aktivis Ormas Islam beserta para nasionalis muslim sejati Kota Bogor, serta bagaimana atau apa langkah strategis untuk mengimbangan event-gelaran CGM yg setiap tahun diselenggarakan, konon katanya, sebagai dana operasionalnya, beberapa tahun lalu, pernah diambil dari APBD, apa iya, agar dicek! Apa benar ?
Saya berkeyakinan, apabila strategi penetrasi dan reduksi budaya ini bisa di desain oleh para budayawan dan seniman muslim seperti Rd Ace Sumanta (Wakil Ketua MPD Orwilsus Bogor) dkk yang tergabung dalam paguyuban budaya Sunda dan atau Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor, maka umat Islam akan tercerahkan, sadar dan berikutnya mereka akan memilih "seni budaya" Islam yang berbasis Tauhidullah, ketimbang musriq, menyembah berhala-berhala/dewa-dewa berupa patung-patung, yang dalam Dinulislam perbuatan dosa tidak bisa diampuni.
Kita dan kaum seniman-budayawan muslim Bogor wajib peduli dan bertanggungjawab mengembalikan "Bogor Dayeuh Para Ulama", kata ustadz Imam, aktivis FMB, bukan produk budaya asing-aseng atau impor, saya bersepakat tentang mindset itu.
Tekad kita, mari Save Akidah umat Islam Bogor, terutama generasi millenial, terhindar dari kemusrikan.
Mereka kini tengah menantikan dan merindukan adanya action plan kreatifitas dan inovasi, gelaran event Festival Seni-Budaya Islam di Kota Bogor, yang menghibur warga muslim tanpa merusak aqidah Islamiyah.
Sebagai renungan kita bersama, cukuplah perekonomian-industri dan perdagangan yang dikuasai mereka, dan kita "kalah", akan tetapi jika bisa budaya nasional Nusantara janganlah sampai didominasi atau diklaim merupakan budaya China, Konghuchu yang kita tahu, itu datangnya, asal-muasalnya dari tanah leluhur mereka negeri Tirai Bambu, Tiongkok sana.
Saya bukan anti "sara", tetapi ungkapan dari hati dan pikiran yg sehat (commen sense) ini diharapkan, dan hendaknya bisa berfungsi menjadi pemantik bagi para seniman-budayawan muslim Bogor yang telah menjalin komunikasi dgn ikhwan-ikhwan kita yang berhimpun dalam Forum Sinergi Muslim Bogor (FSM) segeralah berkarya. Kini mereka telah bersepakat berkalaborasi untuk menggagas "program madani", yang saya sendiri belum paham formatnya seperti apa? Sudah seharusnya dirumuskan dan diputuskan segera secara berjemaah.
Jangan sampai kehilangan momentum, ajaklah MUI beserta Ormas-Ormas Islam antara lain: ICMI, Muhammadyah, NU, Al Irsyad, PUI, KAHMI, DDI, Matul Anwar, Persis, Perti, Al Washia, BKSPPI, dll untuk berpikir dan berbuat kebajikan dan keberkahan karena Allah SWT.
Tetapi kini, saya paling tidak, mendengar adanya gagasan "program madani" tersebut, saya ikut senang dan penuh harap, bahwa akan ada sesuatu kreatifitas dan inovasi seperti Festival Istiqlal yang pernah ada, yang bermanfaat bagi marwah (dignity) umat Islam Indonesia, terutama penduduk mayoritas muslim Bogor.
Moga-moga bukan hanya sekedar retorika belaka, akan tetapi "gagasan madani" bisa diimplementasikan untuk menjaga kualitas keimanan-ketaqwaan (imtaq) khususnya keyakinan, akidah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, Laillahaillah, (Tauhidullah vs musriq), Aamiin, Amiin, Amiin Yaa Rabbal Alamin.
Berbuatlah para seniman dan budayawan muslim kita, jangan berwacana melulu. ingat..! firman Tuhan, Yak qilun, Yak tafakkarun. InsyaAllah masyarakat bangsa yang mayoritas ini tetap menjadi tuan, subjek di rumahnya sendiri, bukan penonton, objek penderita, bahkan seharusnya menjadi umat terbaik dan pengatur ("khairuummah, ummatan wasathan") di dalam wadah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang diridoi Allah SWT, sebagaimana bunyi Pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan RI itu adalah berkat Rahmat Allah SWT (Tauhidullah). Spirit tauhid inilah yang menggerakan para Mujahid dan Suhada memanggul senjata, bertempur di medan perang, merebut Kemerdekan RI.
Harap jangan dilupakan dan disesatkan, bahwa kemerdekaan RI itu anugerahi Allah. Artinya jangan lupakan sejarah negara-bangsa (nation state), "Jasmerah" jika kita ingin menjadi bangsa yang besar (berperadaban-berkemajuan), begitu ungkapan Pemimpin Besar Revolusi kita bung Karno (1945) dalam proses "national character building", yang namanya Indonesia Raya. Sejarah kebangsaan kita yang luhur adalah penentu arah keselamatan nasib bangsa dan sekaligus pegangan hidup bernegara. Sekedar mengingatkan, agar Indonesia kita tetap berjaya.
Penulis: Dr.Ir.H.Apendi.Arsyad.MSi (Pendiri dan Ketua Wanhat ICMI Orwil Khusus Bogor, Wasek Wankar ICMI Pusat, Pendiri-Dosen Universitas Djuanda Bogor kampus "Bertauhid"), Konsultan K/L negara dan Pegiat serta pengamat Sosial)